Zakat Memakmurkan Semua, “Strategic Giving” Mencari Model Tata kelola Filantropi Inklusif dan Berkemajuan (Bag-1)

Ditulis oleh berita
Ditulis pada 18:07, 14/02/2025
Cover Zakat Memakmurkan Semua, “Strategic Giving” Mencari Model Tata kelola Filantropi Inklusif dan Berkemajuan (Bag-1)

JAKARTA – Ketimpangan dan ketertinggalan yang menyelimuti problem kemiskinan di Indonesia senantiasa menjadi pembicaraan menarik dari sudut pandang filantropi Islam. Zakat sebagai instrumen keuangan ekonomi Islam dinilai dapat memberikan alternatif dalam melengkapi solusi kemakmuran dan keadilan sosial.

Hal itu terungkap dalam acara Talkshow yang digelar Lazismu bersamaan dengan rangkaian Kick Off Program Ramadhan 1446 H/2025 di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta (13/2/2025).

Dihadiiri oleh ratusan partisipan Lazismu Wilayah dan Kantor Layanan, se-Indonesia dan mitra strategisnya, Shofia Khoerunisa memandu Talkshow dengan bernas selama satu jam membesut tema Zakat Memakmurkan Semua, yang menghadirkan narasumber Ameli Fauzia Direktur Social Trust Fund UIN Jakarta dan Ahmad Imam Mujadid Rais Ketua Badan Pengurus Lazismu Pusat.

Shofia memantik problem kemiskinan di Indonesia dengan menarik benang merah peran lembaga amil zakat dan regulasi zakat. Tentu saja apa yang dilontarkan moderator disambut pertanyaan narasumber Amelia Fauzia.

Menurutnya negara kita sudah 7 tahun berturut-turut didapuk sebagai negara yang paling dermawan. Pertanyaannya, mengapa mustahik masih banyak dan problem sosial masih ada? Apakah potensi zakat tidak semuanya terkumpul dengan baik atau apa sebenarnya yang terjadi?

Saya memulai dari sini dulu sebagai tilikan, sementara kita memiliki budaya filantropi yang kuat. “Ada tradisi di masyarakat kita sangat mudah membantu, berbagi dan punya solidaritas yang tinggi,” pungkasnya.

Dalam perjalanan, dalam amatan saya, dulu dari tahun 2004 tidak ada donasi ke luar negeri, sekarang ada dan lembaga filantropi melakukan itu. Ini perubahan luar biasa. Maka kembali lagi, kenapa kemiskinan dan problem sosial itu masih ada?

Amelia menemukan, ternyata dari hasil studi yang lain, saya melihat ekosistem lembaga filantropi kita dan tata kelolanya masih belum maksimal.

Hal tersebut, memliki signifikansi dengan indeks kinerja lembaga filantropi antara lain ada doing well, doing good, doing enought dan doing okay. Untuk Indonesia, lanjut Amelia, ada di peringkat tiga Asia Tenggara. Contoh baiknya yang paling bagus itu doing well-nya negara Singapura dan Taiwan yang secara integrase sampai ke sistem pajak.

Cara pandang terhadap perkembangan filantropi ternyata ada lagi dengan hadirnya philanthropy freedom. Artinya menurut Amelia, kita punya keleluasaan untuk menyalurkan. “Berderma jangan dipaksa untuk menyalurkan ke lembaga tertentu, masyarakat sipil juga diberi kesempatan untuk mengelolanya,” tandasnya.

Dalam suatu suveinya, Hudson Institute misalnya, Indonesia dari 64 negara ada di urutan ke-56, sejauh mana kita sudah mempraktikan philanthropy freedom. Tata tata lembaga fialntropi kita masih perlu di perbaiki.

Peneliti filantropi dari Social Trust Fund UIN Jakarta ini menilai bahwa kemakmuran bukan hanya tugas lembaga filantropi, karena ini tugas bersama, pemerintah dan swasta (privat sector). Dengan demikian perlu dilihat lagi peran masing – masing antara lain sector negara, swasta dan masyarakat sipil.

Semua harus bersinergi, dan terjawab bahwa tata kelola kita dan sinergisitasnya perlu di teropong dari strategic giving-nya. Ini masih pekerjaan rumah bersama. Semuanya harus merata, tidak hanya karitatif tapi yang berkelanjutannya.

“Perlu ada keseimbangan dan penting disampaikan bahwa lembaga filantropi kita masih kurang dalam aspek upaya untuk mendorong penguatan ekosistem filantropi itu sendiri,” jelasnya.

Kita sudah ada FOZ dan Poroz, itu front line-nya, karena itu, dibutuhkan studi dan riset, kemudian istilah filantropi ini bagaimana bisa menggerakan sektor filantropi dalam perkembangannya.

Saya menyimak sejauh ini Lazismu sudah beberapa kali survei, secara internal itu penting agar ekosistem di dalamnya ada upaya lebih dalam lagi untuk melihat dalam perspektif yang lebih kritis dan konstruktif. Apalagi kata kunci keberlanjutan ini untuk menyingkap apa itu keseimbangan dalam distribusi, bukan hanya sekadar fakir atau miskin tapi ada keseimbangan gendernya, wilayahnya. Maka sektor penguatan sistem ekosistem filantropi kalau bukan dimulai dari kita, dari siapa lagi?

Dalam kerangka ini, Amelia dalam studinya mengatakan negara punya cara berbeda sehingga melakukan dengan caranya sendiri untuk memperkuat sektor filantropi dan sentralisasi zakat. Hemat saya itu bagus, tapi bisa juga tidak tepat untuk kondisi di Indonesia, itu poinnya. (Klik : Bersambung ke Bagian 2)